10:28
0
8. Kebebasan dan tanggung Jawab

Prinsip kebebasan dan tanggung jawab dalam ekonomi Islam pertama kali dirumuskan oleh An-Naqvi. Kedua prinsip tersebut, masing-masing dapat berdiri sendiri, tetapi doleh beliau kedua prinsip tersebut digabungkan menjadi satu. Penyatuan ini dilakukan karena kedua prinsip itu memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Penyatuan ini juga dimaksudkan agar pembaca dengan cepat menangkap pengertian kebebasan dalam kajian ini, sehingga tidak muncul tanda tanya dan kerancuan dalam pikiran tentang makna kebebasan dalam persepektif Islam.
Pengertian kebebasan dalam perekonomian Islam difahami dari dua perspektif, pertama perspektif teologi  dan kedua perspektif ushul fiqh/falsafah tasyri’.
Pengertian kebebasan dalam perspektif pertama berarti bahwa manusia bebas menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengelola sumberdaya alam. Kebebasan untuk menentukan pilihan itu melekat pada diri manusia, karena manusia telah dianugerahi akal untuk memikirkan mana yang baik dan yang buruk, mana yang  maslahah dan mafsadah (mana yang manfaat dan mudharat).
Adanya kekebasan termasuk dalam mengamalkan ekonomi, implikasinya  manusia harus bertanggung jawab atas segala perilakunya. Manusia dengan potensi akalnya mengetahi  bahwa penebangan hutan secara liar akan menimbulkan dampak banjir dan longsor. Manusia juga tahu bahwa membuang limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan masyarakat untuk mencuci dan mandi adalah suatu perbuatan salah yang mengandung mafsadah dan mudharat. Melakukan riba adalah suatu kezaliman besar. Namun ia melakukannya juga, karena ia harus mempertangung jawabkan perbuatannya i\tu di hadapan Allah, karena perbuatan itu dilakukannya atas pilihan bebasnya.
Seandainya manusia berkeyakinan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena dikehendaki Allah secara jabari, maka tidak logis ia diminta pertanggung jawaban atas penyimpangan perilakunya. Jadi makna kebebasan dalam konteks ini bukanlah manusia bebas tanpa batas melakukan apa saja sebagaimana dalam faham liberalisme. Jadi, kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak[2], karena kekebasan seperti itu hanya akan mengarah kepada paradigma kapitalis laisssez faire dan kebebasan nilai (value free).
Kebebasan dalam pengertian Islam adalah kekebasan yang terkendali (al-hurriyah al-muqayyadah). Dengan demikian, konsep ekonomi pasar bebas, tidak sepenuhnya begitu saja diterima dalam ekonomi Islam. Alokasi dan distribusi sumber daya yang adil dan efisien, tidak secara  otomatis terwujud dengan sendirinya berdasarkan kekuatan pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas pemerintah -yang dalam Islam- disebut lembaga hisbah.
Kebebasan dalam konteks kajian prinsip ekonomi Islam dimaksudkan sebagai antitesis dari faham jabariyah (determenisme). Faham ini mengajarkan bahwa manusia bertindak dan berperilaku bukan atas dasar kebebasannya (pilihannya) sendiri, tetapi atas kehendak Tuhan. Dalam faham ini manusia ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang. Determinisme seperti itu, tidak hanya merendahkan harkat manusia, tetapi juga menafikan tanggung jawab manusia. idak logis manusia diminta tanggung jawabnya, sementara ia melakukannya secara ijbari (terpaksa).
Pengertian kebebasan dalam perspektif ushul fiqh berati bahwa dalam muamalah Islam membuka pintu seluas-luasnya di mana manusia bebas melakukan apa saja sepajang tidak ada nash yang melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaedah, pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya.
Bila diterjemahkan arti kebebasan bertanggng jawab ini ke dalam dunia binsis, khususnya perusahaan, maka kita aan mendapatkan bahwa Islam benar-benar memacu ummatnya untuk melakaukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan teknologi dan diversifikasi produk.
Pertanggungjawaban (masuliayah) yang harus dihadapi manusia di akhirat juga merupakan konsukensi fungsi kekhalifahan manusia sebagai kahlifah. Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, manusia merupakan pemegang amanah (trustee), karena itu setap pemegang amanah harus bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan untuknya.
Pertanggung jawaban, accountability atau masuliyah ditekankan dengan  perintah dari Allah melalui istilah hisab atau perhitungan di hari pembalasan. Istilah hisab ditemukan 109 kali dalam Al-quran dari akar kata hisab (perhitungan), muhasib (penghitungan/akuntan) dan muhasabah sebagai pertanggungjawaban yang merupakan manifestasi dari perilaku kehidupan di dunia ini.
Kepercayaan pada hari kiamat memilki peranan penting dalam kehidupan seorang muslim yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Konsep pertanggungjawaban sudah diterapkan secara sunnatullah sangat ditekankan dalam Islam, bukan merupakan norma etika umum atau perundang-undangan negara. Konsep ini mestinya sudah tertanam di masing-masing indivisu muslim dan tercermin dalam kehidupan masyarakat dan sistem.  Tidak hanya terbatas pada para profesional, akademisi atau pengusaha saja.
Harus pula dipahami bahwa pertangggungjawaban tidak hanya terbatas dalam konsep eskatologis, tetapi juga mencakup proses praktis di dunia ini. Salah satu contohnya adalah kemampuan analisis dan sajian ilmiah dalam akuntansi, misalnya apa yang diperintahkan Allah dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 282, ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuslikannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan benar” (QS. 2;282).


Dalam berbagai forum baiuk di kelas maupun seminar, para peserta sering minta penjelasan tentang pengertian kebabasan dalam prinsip ekonomi Islam dan mereka sering memahaminya secara salah. Bahkan tidak saja para pminat ekonomi islam, dalam buku ajar yang populer din Indondia sebagaimana yang ditulis Adiwarman Karim dalam buku Ekonomi Mikro Islami (2002). Pengertian dan penjelasan kekabasan sama sekalai jauh dari pengertian sesungghnya. Artinya, penjelasannya tentang prinsip kekabasan menyimpang dari pengetian yang dimaksudkan para ahli ekonomi Islam dan ulama.

Dalam filsafat materialisme Barat yang diajarkan Filosoof  Jean Paulk Sarter,’ Manusia ditakdirkan bebas, Tuhan  tidak ada”. Kekebasan manusia tidak terbatas dan bersifat mutlak. Tidak ada nilai-nilai yang transenden yang ditetapkan untuk umat manusia, tidak hukum Tuhan dan tidak teori Palto fan filosof Yuanoi lainnya. Satu-satunya fondasi untuk nilai0nilai adalah kebabasan manusia itu sendiri. (Jean Paul Sarter, Beingg and Nathingness dalam,  Anthony Manser, Sharter : A Philosopic Study, 1966.

0 komentar:

Post a Comment