Nama yang disandangnya tepat dengan jabatan yang diamanahkan di pundak-nya. Dialah KH Ma’ruf Amien, Ketua Dewan Syari’ah Nasional (DSN). Ma’ruf Amin artinya yang baik yang dipercaya, atau yang diberi pengetahuan yang dipercaya. Kendati tidak pernah mengenyam pendidikan master (S2) apalagi doktor (S3) di bidang fiqh, ilmu Ma’ruf Amin tak jauh beda dengan mereka yang begelar doktor.
Lantaran itu pula wajar saja jika pengasuh pondok pesantren Al-Nawawiyah, Banten ini diberi amanah sebagai Ketua DSN. Di samping itu ia juga menjadi Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rois Syuriah PBNU. Beberapa kedudukan itu sangat membutuhkan keulamaan, kefaqihan, dan keumaraan seseorang.
Usai berkelana menimba ilmu dari berbagai guru dan pondok pesantren, di antaranya pondok pesantren Tebuireng, Jombang pimpinan KH Yusuf Hasyim, Ma’ruf Amien mengaku prihatin dan sedih. Sedih bukannya karena ia tak mendapatkan lapangan kerja. Prihatin bukan karen ia menganggur. Tapi lantaran banyak lulusan dari pondok pesantren yang ilmunya tak dikembangkan. Akibatnya, ilmu itu mandul bin tumpul.
Nah, untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu yang diperolehnya dari pesantren selama 10 tahun, ia aktif di ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam. Semula ia tergabung dengan pengurus ranting NU di daerah Jawa Timur dan akhirnya mendapat amanah di tingkat nasional.
Nah, untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu yang diperolehnya dari pesantren selama 10 tahun, ia aktif di ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam. Semula ia tergabung dengan pengurus ranting NU di daerah Jawa Timur dan akhirnya mendapat amanah di tingkat nasional.
Penggerak Ekonomi Syari'ah dari Pesantren
Di DSN sendiri, Ma’ruf Amien bersama koleganya ingin mengembangkan ekonomi dan keuangan syari’ah di seluruh jagat Nusantara. Di antara garapan yang sudah ditangani DSN antara lain, perbankan, asuransi, pasar modal/reksadana yang berdasarkan nilai-nilai Islami. Selain itu, ke depan DSN juga berupaya memperbesar lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan Syari’ah serta memperluas jaringannya. “Kita berharap sistem ekonomi nasional kita secara umum menggunakan dual system economic. Yaitu syari’ah dan konvensional. Dan sistem syari’ah ini harus kita tampilkan sebagai sistem alternatif,” tuturnya.
Menurutnya, sistem konvensional tetap dibiarkan ada karena untuk penerapan dan pengamalan sistem syari’ah ini didasarkan atas asas kesadaran atau sukarela dari umat Islam, sehingga kesannya bukan karena paksaan. Lagi pula, “Masyarakat itu tidak bisa mengamali perubahan secara radikal. Selain itu kita ingin menguji mana yang lebih unggul dan kompetitif,” terang mantan anggota DPR asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mudah diajak bicara ini.
Jika dinilai, upaya pengembangan ekonomi syari’ah di Indonesia selama ini terhitung berhasil dan menggembirakan. Sebab, sejak pertama kali ditumbuh-kembangkan tahun 1990-an sampai sekarang, sudah hampir ratusan lembaga ekonomi dan keuangan syari’ah yang ada. “Tapi efektifnya sistem syari’ah itu dimulai tahun 2004. Jadi baru memasuki tahun kedua sampai saat ini,” papar Ma’ruf. Padahal, di tahun 1990-1998, bank syari’ah cuma satu bank, yakni Bank Mu’amalat Indonesia (BMI). Lalu 1998-2003, berkembang menjadi tujuh bank. “Kemajuan berlanjut lagi,” sambungnya, “Setelah ada fatwa dari MUI tentang pengharaman bunga bank. Selama kurun satu tahun, 2003-2004 sudah ada 12 bank syari’ah.” “Dan sekarang sudah bertambah lagi dan cepat sekali,” katanya. Misalnya, saat ini telah berkembang 23 asuransi syari’ah, 20-an pasar modal Syari’ah dan 11 reksadana syari’ah.
Selain mengembangkan, mendukung dan memotivasi berdirinya lembaga-lembaga dan masyarakat ekonomi syari’ah, Ma’ruf juga bertindak sebagai pefatwa sekaligus pengawas perjalanan ekonomi-keuangan syari’ah. Karena itu pula, demi tegaknya ekonomi syari’ah, ia sering memberikan paparan tentang keunggulan ekonomi Islami ini di perguruan tinggi, lembaga-lembaga ekonomi-keuangan, dan hotel-hotel. Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan muncul dan tumbuh pemberdayaan umat Islam dalam bidang ekonomi. “Sehingga ada empowering (pemberdayaan), atau al-taqwiyah itu melalui ekonomi, terus kita langkahkah dengan sistem yang kita miliki sendiri,” kata kyai yang pernah belajar di Universitas Ibnu Khaldun, Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment